Thursday, December 14, 2006

sorry to say sorry




December 13, 2006

Dear Luv,

Hujan menetes
dari ada ke tiada, dari tiada ke ada
"apa yang kau bawa?" tanyaku
"tidak ada" jawabnya, lalu mengalir pergi

Kosong. Suatu ketika dia berkata begitu, benarkah kosong?
November kemarin dia ulang tahun, Luv, sudah beberapa waktu ini aku berpikir untuk minta maaf, tapi ternyata aku tidak punya cukup keberanian. Minta maaf untuk apa? tanyamu. Untuk banyak hal yang telah kuperbuat yang menyakitinya Luv. Mungkin kamu tidak mengerti, tapi seperti kamu meminta maaf padaku, seperti itulah seharusnya aku minta maaf padanya. Terutama minta maaf karena aku tidak pernah bisa mencintainya dan tentu saja, dari situ semua berawal.

Jogja sudah mulai hujan, akhirnya. Aku selalu mencintai hujan, bahkan ketika hanya kekosongan yang dibawanya. Hujan sungguh membasuh kegalauan, meskipun mendungnya membuat fragmen memuncak mencapai klimaks ketika petir berkedip dan guntur berteriak. Tapi demi segarnya aroma tanah dan wangi rumput setelahnya, dan hembusan angin yang seakan meminta maaf atas kegalauan yang timbul, aku pun terlena menikmati indahnya hari.

ps: kali ini aku sungguh menyesal belum lagi membuat tulisan tentang Lhoks dan Davao, hmm.. semoga sempat sebelum Natal menjelang. Natal oh Natal... sebuah tulisan atau lebih seharusnya pantas. Ah.. kapan duniaku sepi dan aku sanggup menulis?

I'm not sorry to love you this much,

-onk-

Friday, November 17, 2006

wish you were here

November 16, 2006


Dear Luv,

Apa kabar?
Aku udah di Jogja lagi sekarang, tp bsk subuh udah harus pergi lagi ke Medan. Lagi-lagi aku ngulur waktu buat utang nulis soal perjalanan ke Lhoks minggu lalu. Asli enggak sempet. Tapi sebagian besar cerita toh sudah kusampaikan ke kamu meski cuma beberapa pesan singkat pengantar tidur.

Perjalananku kali ini sepertinya bakalan lama, selepas Medan aku akan ke Davao, semoga semua akan baik-baik saja. Terus terang, aku kurang siap dengan tugas kali ini, tp ada daya, sekali lagi aku harus bisa melangkah lebih dari yang kukira adalah batas ketahananku.

How I wish you were here. Berbagi cerita dan tawa denganmu, sungguh hal yang langka akhir-akhir ini. Ya sudahlah, aku mengerti keadaannya.

Tetaplah keras seperti itu, hingga tak satu hal pun mengoyakmu, dan pada akhirnya hanya aku yang dapat memahamimu.


lots of love,
-onk-

Sunday, November 12, 2006

...seharum aroma gurih udang kelong...

Sei Putih -- November 11, 2006


Dear Luv,

Aroma Udang Kelong oleh-oleh Reppa dari Meulaboh yang diungkep oleh kak Maya menebarkan harum gurih ke seluruh sudut rumah. Cacing-cacing di perut menggelitik minta bagian.

Hari ini aku akan pulang ke Jogja, meninggalkan Medan lagi, padahal baru tadi pagi aku tiba di Medan dari Lhokseumawe. Banyak cerita yang dapat dibagi, ditelaah, dipelajari dan ditertawakan bersama.

Lhokseumawe, si angkuh yang menyita banyak energi. Sekian lamanya bergelut denganmu, tapi tak juga dapat kami pahami apa maumu.

Sepertinya aku butuh menyempatkan saat khusus untuk menulis tentang perjalanan ke Lhoks tempo hari. Seminggu disana bukannya membuatku semakin mengenal kota itu, tp sebaliknya, aku malah justru semakin asing dibanding kala pertama menginjakkan kaki disana sekian purnama yang lalu.

Tapi bukan sekarang, udang kelong sudah menanti utk disantap sebelum kaki ini melangkah pulang ke rumah.


kangen selalu,
-onk-

Sunday, November 5, 2006

dalam kerinduan akan hujan

November 04, 2006


Dear Luv,

Apa kabar?
Sekarang dku lagi di Medan, kembali di sambut hujan sore tadi... wangi tanah basah, wangi rumput di halaman... sungguh menyenangkan, meski Medan tidak senyaman Jogja tapi disambut hujan instead of debu dan polusi sudah merupakan tanda yang baik kan? hehe...

I miss you, you know.

Di Medan, entah kenapa aku bisa melihat Jogja (baca: aku di jogja) dan segala isinya lebih jelas, mungkin karena kita berada selangkah di luar jangkauan suatu lingkaran kita sendiri maka kita bisa melihat lingkaran itu lebih jelas, seperti halnya manusia mempercayai bahwa bumi itu bulat. Biasanya, di kota ini pula aku merasa lebih kangen kamu, lebih tau kenapa kangen kamu, dan sebaliknya kenapa lebih baik aku tidak kangen kamu, kenapa kita memang harus berpisah... dan banyak hal lain baik tentang kamu maupun yang lainnya.

Entahlah, banyak yang telah terjadi dan masih banyak pula yang aku yakin akan terjadi..
aku cuma berharap, kehadiranku dan kehadiranmu meski tidak bersama akan tetap memberi arti. Karena ombak dan pasir akan menyatu dengan caranya.

dalam hujan yang membuat tanah mewangi..


luv,
-onk-

Saturday, November 4, 2006

selagi sempat

November 03, 2006

Dear Luv,

Kehilangan seseorang itu memang sangat berat, apalagi kalau seseorang tersebut adalah orang yang sangat kita cintai. Aku memang belum pernah kehilangan orang yang dekat denganku untuk selamanya, tapi menyaksikan bagaimana Bulik menangis ketika mementaskan tarian sebagai wujud apresiasinya kepada Paklik dalam peringatan 100 hari meninggalnya Paklik tempo hari mau tak mau membuatku berpikir ke arah sana. Sungguh mengharukan tarian itu, gamelan yang mengiringi juga sendu selayaknya mewakili kesedihan tanpa batas.

Sedalam itukah ikatan jiwa seorang dengan yang lain dapat terbentuk? Itukah yg disebut cinta?

"Aku ingin mati dalam pelukan suamiku", itu yg akan menjadi jawabanku jika ada yg bertanya bagaimana atau dimana aku ingin menyambut kematianku. Karena akan sangat menyedihkan jika kita melepas kepergian yang tercinta dan tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk itu.

Tarian demi tarian, adegan demi adegan, bait-bait sajak, monolog, bahkan doa telah terpentaskan. Tapi dalam hati, pedih masih terasa ketika kesedihan masih menggantung di udara. Aku pun belum bisa memahaminya. Dalam senja yang membayang, seulas senyum untuk yang tercinta.

Selagi sempat,

-onk-

Saturday, September 16, 2006

aku dan Medan

My Corner -- September 16, 2006

Dear Luv,

Huwaa... seneng deh bisa ketemu kmu kemaren siang. Gak nyangka, tiba-tiba kmu muncul begitu aja di kantor. Tau gak, dku baru balik dari Medan. Sebenernya sih blom boleh balik Jogja sama Manager di Medan, tp gimana kerjaan di Jogja kan kudu rampung juga.

Kemaren waktu di Medan dku sempet kaget, loh kok hujan?! hehe... sama hujan aja kaget. Lha iya, soalnya Jogja udah lama gak punya hujan. Jogja lagi dingin banget akhir-akhir ini. Makanya pas di Medan disambut hujan, huwaa.. seneng deh.. jadi keceh di halaman mess. Walopun udah masuk musim hujan, Medan masih panas, panaass terus, debu, polusi, macet, etc tp sekarang setelah sekian kali ke kota-nya orang Batak itu, dku jd rada biasa, enggak kagok lagi. Dulu, hmm.. selalu misuh klo lg jalan di lalu-lintasnya yg gila. Pokoknya neh, kalo di Medan: lampu nyala merah orang malah tancap gas, giliran lampu nyala hijau orang harus pelan-pelan. Dulu dapetin SIM-nya pada nembak semua apa??

Pernah satu kali dku sama temen boncengan naek motor keliling Medan siang-siang panas amit-amit gak pake helm. Besoknya, dku kena ISPA hahaha... debu dan polusinya itu loh, gak kuat deh.

Oya, kemaren pas pulang ke Jogja dku sebelahan sama satu Kakek. Dia mau ke Jakarta. Orang Batak asli rupanya. Nah, kalo Lion kan model refreshment-nya cuma dus-dus-an doank, mungkin karena 2 jam flight makanya dikasih pula teh/kopi cuma dihantar sama pramugari-nya pake nampan enggak pake troli. Pas lewat di bangku kami, dku gak pesen apa-apa dan si Kakek tadi enggak ngeh. Sekitar seperempat jam kemudian, dku lagi tidur-tidur ayam tiba-tiba dibangunin sama Kakek.
"Kenapa pula kita tidak dikasih kopi?" tanyanya.
Dku jelasin, kalau kopinya udah lewat tadi.
Kakek tadi gak terima. "Kenapa tidak kau bilang?" bentaknya dengan logat Batak yg khas.
Mati aku.

peluk chayank!
-onk-

Thursday, August 31, 2006

pamit?

My Corner -- August 31, 2006

Dear Luv,

Kemarin aku pergi ke Jakarta. Sebenernya di Jakarta aku berharap dapat bertemu --walopun sebentar-- dengan dia yang mampu membuatku menengok darimu. Tapi nampaknya dia sedang sangat sibuk sehingga utk menemuiku pun sangat tidak mungkin baginya.

Anyway, entah kenapa aku ingin menceritakan ini padamu, toh kamu gak bakal peduli juga. Tapi sebenernya sudah lama aku ingin cerita soal ini, paling tidak aku sudah berniat untuk "pamit" jika hatiku sudah mau diajak pergi dari kamu. Tapi kesempatan untuk berpamitan gak kunjung tiba, lagipula sekarang aku malah kembali masuk ke dalam labirin yang kuciptakan sendiri, ketika hatiku sudah menunjukkan tanda-tanda mau pergi, logika dan jiwaku malah belum yakin hendak pergi kemana. Maka belom jadilah aku "pamit" padamu. Doakan saja tidak lama lagi aku bisa berpamitan, karena aku sendiri sudah muak dan jenuh berada terus dalam jalan ini, meski bersamamu...

-onk-

Thursday, August 24, 2006

:: Hey... ::

Jogja, 24 Agustus 2006

Dear Luv,

Sudah beberapa bulan terakhir ini aku mencoba mencari sosok lain selain kamu. Satu hal yang dulu tidak mungkin terlintas dalam pikiranku akan sanggup kulakukan. Tapi kamu lihat, aku bisa, aku ternyata bisa. Aku tidak menyangkal kalau ketika dingin malam menusuk dan jiwaku mulai gelisah ingin pergi dari apapun yang kuhadapi, aku masih menekan nomormu meski tidak pernah kusambungkan, aku bersyukur logikaku masih sanggup menahanku supaya tidak menghubungimu. Well, kadang aku memang masih menelponmu, dan suaramu memang masih menjadikan satu hal ajaib bagiku. Sesuntuk apapun, begitu aku mendengarmu menyapaku simply “hey”, duniaku seakan berwarna cerah kembali. Apa aku masih mencintaimu? Aku yakin masih. Tapi aku juga yakin kalau aku sudah tidak lagi jatuh cinta padamu. Bedanya tipis memang tapi sangat berarti bagiku.

Kamu tidak akan menyangka kalau sekarang aku bisa tersenyum pada sosok lain dengan ringan, aku sekarang bisa menatap lekat kedalaman sinar redup yang ditawarkan sosok lain tanpa ragu, dan aku bisa menikmati kehangatan yang dulu pernah kudapat darimu dengan nyaman. Semua itu ketika aku mau membuka hatiku. Luv, maaf jika aku mulai bisa melepasmu.

Tapi percayalah, meski aku mencoba membuka hatiku untuk sosok lain, tetap baru dirimulah yang pernah bisa membuatku melayang dan tak ingin kembali...

Thursday, July 13, 2006

Little Heaven

Dear Luv,


Bromo_3_revIt's only a place that I found last year during my travel of escape the routines.

A place to reflect my 2005 and to get some quiet for a while. I fell in love just like that, right after I got off the bus that took me there. It was a cold Tuesday, the 27th of December 2005. I remember how happy I was to come to this place. As my friends were busy with their hot tea and fried bananas, I got myself a hot ginger and it was good...so good! A friend of mine said that it is the place where she found her spiritual ... thing --I couldn't find any term that fit to her expression-- and she is regularly visit the place one in a month or two. And I just knew why she has such feeling,Bromo_6_rev_1 it's definitely the place where you'll see the great deed of mother nature. A place where you can step aside for a while from your life and see that you only a small creature amidst the magnificent nature. I must come again to this little heaven.


wish you were there with me.

luv,

-onk-



Monday, May 22, 2006

[...] inspired by The Eternal Sunshine of the Spotless Mind

Dear Luv,


Have you ever wanted to forget one of the moments in your life?
If you have the chance, which of your memories you prefer to erase?

I was petrified as I asked myself, which memory of mine that I will prefer to erase? On my first thought, it's the memory of you I would like to forget. You, whose smiles greet my inner heart, move me to dance with tones I've never heard before, like chimes of distant bells. It's true, your love is just a chimera.

I hate to know that the memory of you remains, that I am not over you yet. I wanna stop remembering the way you look at me when you were simply saying “hey”; the way your touch melts me; the taste of dishes you cooked me on my birthday; all biggest warm hugs and gentlest kisses; and the memory of you sharing me the same dream of walking on the same path, struggling for the same will and living the same love. I don’t wanna be bothered again by the hope for having you again that is springing deep inside. I hate realizing you are the love I’ve ever had. I hate to admit how your voices calmed my anger down.

Having memories of you is hurt. I know, since I still remember every seconds of your existence; the words, the laughs, the fights, the tears, the touches, the love we learned to live from the time it was uttered ‘till you bade me adieu. You taught me how.

On my second thought, if I erase the memory of you, will I remember to love?

luv,

-onk

Thursday, May 11, 2006

mengejar matahari(ku) [ part 2 ]

Dear Luv,

Jogja masih menyimpan keraguan akan cuacanya, seakan mengalami krisis identitas cuaca apa yang akan diberikan untuk penghuni tersayang, apakah hujan, panas, atau apa? hawa panas dan sumuk membuat udara terasa menggantung lembab, sedangkan malam masih menggigit dengan dinginnya.


Aku masih berkutat dengan jiwa gelisahku yang entah kapan akan tenang, seperti angin yang terus meningkat intensitasnya menjadi badai. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dan akhirnya berubah menjadi pernyataan atas jawaban yang tidak juga kudapat. Pikiranku yang melayang menembus imajinasi kekal tak disangka telah membantingku kuat-kuat ke tanah. Terlalu sakit untuk dirasakan tetapi terlalu indah untuk disadari bahwa ternyata aku masih bisa menginjak bumi.

Terkadang terbersit pikiran untuk melupakan mimpi yang satu dan mengejar mimpi yang lain, tapi siapakah yang akan memberitahuku yang mana yang harus kukejar? yang mana yang harus kupilih? yang mana yang akan membuatku lebih bermakna?

Bagaimana jika aku salah memilih? Karena aku tidak mungkin mengulang kembali fragmen yang telah dipentaskan.

Aku tidak bicara tentang idealisme atau status atau apapun yang bisa menjadi candu, prekk dengan semua itu. Yang kupedulikan cuma bagaimana meringankan hati, bagaimana mencari tawa yang dulu pernah kulepas, bagaimana meraih keceriaan kanak-kanak yang telah melesat jauh dari busurnya. Sebelum semuanya hilang tak tersisa, tercecer entah di bagian mana dari perjalanan ini. Aku tak ingin kembali, aku tak mungkin kembali, maka aku hanya bisa memilih jalan untuk mencarinya lagi. Mungkin aku menjatuhkannya ketika asyik berlari mengejarmu, mengejar impian-impianku, mengejar matahariku; mungkin tak sengaja tersangkut di dahan yang menyandungku dan membuatku lebih kuat menahan sakitnya; mungkin tercecer diantara serpihan remah anganku yang membantuku "hidup"; mungkin tertiup hembusan nafas yang menghela beban; mungkin terhapus oleh jejak langkahku sendiri; dan mungkin aku bahkan tak benar-benar memilikinya.

Aku masih menatap mega mendung di atas sana, bahkan Merapi yang akhir-akhir ini semakin angkuh menyatakan misterinya yang agung tak menampakkan keanggunannya. Aku sedang belajar memahami kembali jalan yang kupilih, ketika ada rasa rindu atas sesuatu yang semakin kabur.

Dan aku masih harus berlari mengejar matahari(ku).

luv,
-onk-

Saturday, April 22, 2006

mengejar matahari(ku) [ part I ]

Dear Luv,

Kalimat pertama selalu yang paling susah ditulis, padahal cuma mo cerita kejadian hari ini. hmm..

Tadi pagi dku bangun dengan malas, semalam telat tidur gara-gara nonton film-film lama, judulnya dku lupa, eh.. apakah ini salah satu pertanda berkurangnya kemampuan mengingat? ato dku udah mulai kehilangan kemampuan mengingat jangka pendek.. padahal klo memori jangka pendek aja kacau gimana memori jangka panjangku?! hiks...

Anyway, mumpung masih inget kejadian hari ini mending dku mulai aja deh. Kejadiannya sih enggak penting-penting amat, enggak terlalu menarik juga, maka kalau diantara kalian gak bener-bener punya waktu luang mending gak usah baca deh, daripada ntar kecewa.

Perpus kampus masih sama seperti dulu, ketika dku masih akrab menggaulinya. Aroma buku-buku yang tersusun rapi di rak pun masih sama, semakin menguat dan menusuk pikiran memanggil 'tuk dibaca. Begitu masuk ke basement, dku langsung lenyap di antara rak, tenggelam dalam sekian ribu judul buku, mabuk oleh imajinasi yang bercampur fakta yang berterbangan keluar dari buku-buku yang berjajar, bertumpuk, berdesakkan dan bahkan berserak dimanapun mata memandang. Entah kenapa aku selalu merindukan tempat ini. Tempat yang dulu pernah sangat memuakkan semasa menggeluti skripsi atau tugas-tugas kuliah.

Halaman depan sudah bukan hamparan rumput luas lagi, halaman depan sudah berubah menjadi gedung baru. Kulangkahkan kaki dengan ringan ke lorong-lorongnya, berharap mencium kembali nafas yang dulu pernah kuhembuskan; berharap menangkap kembali bayang-bayang tingkah polahku, kamu, kita; berharap disapa oleh jejak langkah, tawa canda dan airmata itu. Tapi tidak, tidak ada apapun. Tidak satu senyum, tidak satu sapaan, tidak satu katapun. Jendela-jendela itu, tidak satu diantara seribu yang mengijinkanku menengok ke dalam lewat celahnya. Pilar-pilar yang menyangga bangunan itu, yang dulu juga tempatku, kamu, kita bersandar kini berdiri dengan angkuhnya.

Rasanya sedih, sedikit demi sedikit kampus ini mulai berubah, entah bertumbuh entah apa. Aku tak mengerti, aku tidak mau mengerti. Yang kumengerti saat ini hanyalah rasa asing yang menyapa. Mungkin karena kampus ini tak lagi memanggil namaku, mungkin karena aku hanya dikenali lewat sederet angka yang bahkan bukan aku yang memilihnya. Mungkin karena aku terlalu naif menerjemahkan slogan Humanis yang tercetak dalam tiap publikasinya. Aku tidak punya kemampuan lebih untuk menjelaskan rasa kecewa ini dengan lebih baik, tapi aku tahu kalian pun merasakan hal yang sama, meski tidak serupa.

Sudahlah, rasa ini akan berlalu, seperti rasamu akan aku, seperti rasa itu...

luv,
-onk-

Thursday, February 2, 2006

freedom at last, eternal oblivion!

Dear Luv,
only one of my second thoughts.

to those who have given me free rein to ...

Satu hal yg selalu kupercayai adalah bahwa kita dilahirkan dengan pilihan dan kebebasan. "Hidup tanpa kebebasan adalah seperti tubuh tanpa jiwa" kata Gibran.

Emang sih kebebasan bukan sesuatu yang mudah, jutaan bahkan ratusan juta manusia mati karenanya. Tapi kebebasan juga bukan selamanya indah, mulus, ringan.. Terutama ketika pilihan demi pilihan menjepit, menekan dan akhirnya memaksa kita untuk kehilangan kebebasan ... dan sekali lagi kita harus memperjuangkannya kembali.

...
Sejak tadi malam Jogja hujan terus, dingin, bawaannya pengen tidur.. zzz.... wah enak kali ya klo bisa tidur seharian, enggak perlu pergi ke kantor, enggak perlu ngadep komputer seharian, enggak perlu balesin email2 dan jawab telepon dari banyak orang yg bahkan tidak kukenal yg berasal dari entah belahan dunia bagian mana... enggak perlu compile reports, dan banyak "enggak perlu" lainnya.

Percakapan dengan seorang teman (cowok) membuatku teringat akan topik kebebasan hari ini.

Hampir setahun yang lalu. Malam itu juga dingin, walaupun tidak hujan, karena bintang berkelap-kelip di atas sana . Angkringan utara stasiun Tugu rame banget, sampe-sampe kami duduk mepet tembok pager rumah orang dan berbagi tikar dengan rombongan lain. Percakapan berawal dari imajinasi kami yang terbang menembus cakrawala pengandaian.

"Berarti jadi wisuda besok April neh?" tanyaku iseng

"Iya. Udah keburu kelamaan kuliah neh, maklum angkatan tua banget"

"Trus rencanamu mo nyari kerja di kampung halaman?" tanyaku lagi. "atau mo nyoba ibukota kayak kebanyakan teman?"

"Entah, gw males kerja ma orang, dari dulu nyoba gak pernah berhasil, gak cocok mlulu, mending wiraswasta" jawabnya

Aku diam. Tapi wiraswasta kan enggak pasti, kataku dalam hati.

"Gw pengen buka usaha sendiri, bidang apa kek. Kayaknya masih ada peluang di kota gw utk wiraswasta, klo di Jogja kan udah tipis" lanjutnya. "Tp enggak mungkin kan klo gw nganggur, mo dikasih makan apa anak-istri gw kelak, walopun blom kepikiran married, gw udah harus mikir nabung dunk, udah tua gini, gila apa?!".

Aku masih diam, manggut-manggut mendengarkan impiannya (atau pilihan satu-satunya?).

Dia meneruskan bercerita tentang kemungkinan-kemungkinan merintis usaha di kampung halamannya, prospeknya, koneksinya dll. Tapi dalam hati aku cuma berpendapat: kamu kan cowok, bukannya lebih save and secure klo punya pendapatan tetap dan pekerjaan yg yaa.. "mapan" lah. Mungkin dalam beberapa hal pikiran seperti yg kumiliki tergolong normatif bahkan kolot, seharusnya dengan pendidikanku sekarang dku udah punya pikiran "lebih" dari itu, I'd rather in secure position though. Am blameless for conservative raising :)

...
Saat ini, hampir satu tahun kemudian, si teman cowok tadi telah berada di kota kelahirannya dan nampaknya betul-betul membuka sebuah usaha wiraswasta. Tapi dalam pikiranku [yg masih terpengaruh oleh conservative raising] masih wondering, ya klo sukses, klo enggak?!

Tadi pagi ketika dku dengan sangat malas berangkat ke kantor, berpikir tentang suatu saat jika memungkinkan akan berhenti kerja saja dan mencari kerjaan part time atau sebangsanya. Lalu tiba-tiba teringat akan percakapan di atas.

Ternyata kalau dihubungkan dengan percakapan di atas, dku sebagai perempuan lebih punya kebebasan dan lebih bisa memilih daripada laki-laki. Dku tdk akan dicap aneh oleh sekitar [lagi-lagi pola pikir normatif] sebagai pengangguran --walopun jelas-jelas aku menganggur, misalnya.

Kebebasan utk memilih menjadi mapan atau tidak mapan, kebebasan utk memilih pekerjaan yg kita sukai, bahkan utk tidak bekerja, kebebasan utk menjadi diri sendiri. [Dku enggak bicara soal keterbatasan akses bagi mayoritas perempuan di negara ini bahkan di dunia, sekali ini menutup mata dulu he...]

Siang ini, sepulang nengok seorang teman yang habis melahirkan kami rame-rame makan ikan bakar di Seturan [hmm... yummy!].

Entah berawal darimana, seorang teman (cowok) berkata, "wah aku blom tanda tangan perpanjangan kontrak nih"

"Iya, tanda tangan gih, masih ragu-ragu?" tanya seorang teman (cewek)

"Ya enggak sih, cuma kalau aku kan udah umur segini (31, red) udah saatnya mikir pekerjaan yg settle, kan usia enggak mungkin lompat sana-sini nyari kerjaan kan " jawab si teman cowok tadi. "Jadi pertimbanganku cuma apakah lembaga bisa menjawab kebutuhanku tadi" lanjutnya.

Dku cuma mendengarkan "rembug tuwa" tadi sembari berpikir, oh iya, emang sih beberapa lowongan pekerjaan mencantumkan syarat minimal usia. Hmm... begitu rupanya "wacana" kehidupan yg dihadapi para pria di dunia kerja dan per-keluargaan.

Sekarang, dengan kondisi pekerjaanku yg kayak gini, kayaknya dku juga enggak bebas dan kebebasan terasa semakin jauh dan jauh dan jaaauuuuhh...!

Ketika dua hari lalu handphone-ku ngadat dan ngambek minta istirahat dku masih bisa tersenyum dan bilang: dku masih bisa kok hidup tanpa HP [walopun ketika kemarin beliau mulai menyala lagi dengan normal aku sangat bersyukur. inget, jauhkan HP dari air sodara-sodara!]. Atau ketika motorku juga terbatuk-batuk lalu minta macet, dku juga masih bisa senyum. Ketika yang tercinta pergi dan aku menghabiskan sekian lamanya berduka, akhirnya aku pun bisa tersenyum dan bisa membuktikan kalau dia tidak menjadi candu utkku. Tapi ketika kebebasanku terasa semakin jauh, bernapas rasanya sesak dan pengen lari dan lari dan lari... entah kemana. Maka kalau dku sedemikian ngotot mengejar kebebasan dan meninggalkan hal lain, pekerjaan misalnya, bukankah kebebasan menjadi candu dan aku tidak lagi bebas?

"Every form of addiction is bad, no matter whether the narcotic be alcohol, morphine or idealism" Jung (1875-1961) berkata.

Dan aku tertegun, melihat seorang ibu penjual camcao/cincau di Pasar Beringharjo hari Minggu kemaren. Dengan segala kesederhanaanya, dia bebas, lebih bebas dari diriku, dari kita. Sementara aku berkutat dengan banyak mimpiku, keinginanku, target, bahkan idealisme-ku yang kadang semu dan absurd, dia bebas dari segala kemewahan, dari keinginan, dari imajinasi yang "enggak perlu", dari idealisme, dari pilihan-pilihan (yang di satu sisi membebaskan dan di sisi lain mengharuskan kita memilih, kalaupun kita memutuskan utk tidak memilih, kita telah memilih) dan dari segala candu... [mungkin demikian], dan aku iri padanya.

Thanks to those who free me from my mind, my feeling, my imagination... freedom at last, eternal oblivion!

luv,

-onk-

Wednesday, January 4, 2006

L.O.V.E

Dear Luv,


"How does one connect two souls? Two worlds? Two realities? When there are seas and skies and mountains and seasons separating us?" -- quoted from Christy

A good question I thought, and directly answered it must have been LOVE. I was once naively thought that LOVE would never could hurt me. Now, as I stepped into romantic life and broke my heart again and again, I realize that LOVE is simply unique and inevitable. It sucks, well in someways.

It is the fourth of January 2006 and this year's resolution is still hangin' in the air, fresh as cake from the oven. The same resolution as last year and last two years. Well, sometimes shit happens and I just could not over it yet. No need to ask, the answer --if any-- is hiding from me ever since I asked for the first time. I guess it's one of my unsolved mysteries.

Christmas was passing me by, she even didn't stop to chat for a while. And New Year was just the same. Thankfully though, at least some of us had little time to sit and relax and laugh at Mr. Stephen Cow and his --you know what.

As I write this L.O.V.E, I am sitting in my office-chair, the same chair for the last 2,5 years, to give you a big warm L.O.V.E-words-hug with hopes that when you have a moment, you will send me the a little of your L.O.V.E and our L.O.V.E will merge and meld into ... into ... I'm not quite sure what. Anyway, as I said for years, quoting from .. I could not remember, falling in love is just like another fall, it'll hurt. And from that quote this L.O.V.E begins.

I was naively and stupidly thought that I would never ever get hurt by LOVE. As I stepped forward to enter that fuckinlove world, I then realized that I should have really put attention on the quote above and marked it as WARNING: LOVE HURT. Perhaps LOVE is an obligatory phase in this life. Hukumnya wajib kali ya. Buat kalian yg mungkin blom ngalamin LOVE, inget BEWARE: LOVE HURT! Dku nemu kutipan berikut dari surat cinta yg nyangsang di cybersastra (www.cybersastra.net): "Bodohkah aku jika masih saja mengalamatkan rindu padamu? Saat tak ada lagi detik yang kau lewatkan untuk mengingatku. Saat tak ada lagi sisa diriku yang terpatri dalam hidupmu. Cabikan kenangan tentangku telah terburai. Bahkan hanya sekedar namaku pun kau lupakan." Bodoh gak sih? Nyata iya, bodoh? entah. seorang teman pernah bilang: When you love someone, you do crazy things but you don't realize it". Dan suatu saat ketika kita sudah tidak jatuh cinta atau cinta telah meninggalkan kita dan kita ingat akan all crazy things we've done, percayalah It'll hurt! Tapi setelah semuanya.. dan percayalah untuk mencapai kata "setelah semuanya" itu akan membutuhkan waktu yang lama dan lama dan laaamaaa baaanggeeeet!!! gak bisa dihitung dengan satu atau dua tahun --- even some said, first love will last forever.. and I said: Anjrit....!!!! tapi setelah semuanya, after all are said and done --including all the cry me a river phases, we'll laugh at every single crazy things we've done .... eventually.

I used to hate the one who ever hurt me, but then I thought --after a year full of hatred-- the more I hate him the more I keep him in my mind. Then I simply got rid of my hate and I then learned to hug the heartache. Amazingly, it worked... After a year and a half I could come to him, look at him just right in his eyes and smile. And after two and a half years we could talk. What took it so long? the right moment to act? I never knew.

Why do we bother to fall in love, anyway? Ask me not. I remember a friend quoted from... (where...?) : when we are in love we feel like there's butterfly flying in our stomach. Was it love? or simply an immediate attraction? What makes us fall in love? and how could we know that He is the One?

I often wait for the "click" sound whenever I am with someone new or someone old but new -- nevertheless, in some cases what we thought a "click" sound was actually not the real "click" for the one we love(d) and when finally he told us about it... wew... it hurt! --- Have you found your "click" sound? Will the "click" sound come to us or we should find it? as a proverb said: nothing in this world happens by chance.

luv,

-onk-