Saturday, April 22, 2006

mengejar matahari(ku) [ part I ]

Dear Luv,

Kalimat pertama selalu yang paling susah ditulis, padahal cuma mo cerita kejadian hari ini. hmm..

Tadi pagi dku bangun dengan malas, semalam telat tidur gara-gara nonton film-film lama, judulnya dku lupa, eh.. apakah ini salah satu pertanda berkurangnya kemampuan mengingat? ato dku udah mulai kehilangan kemampuan mengingat jangka pendek.. padahal klo memori jangka pendek aja kacau gimana memori jangka panjangku?! hiks...

Anyway, mumpung masih inget kejadian hari ini mending dku mulai aja deh. Kejadiannya sih enggak penting-penting amat, enggak terlalu menarik juga, maka kalau diantara kalian gak bener-bener punya waktu luang mending gak usah baca deh, daripada ntar kecewa.

Perpus kampus masih sama seperti dulu, ketika dku masih akrab menggaulinya. Aroma buku-buku yang tersusun rapi di rak pun masih sama, semakin menguat dan menusuk pikiran memanggil 'tuk dibaca. Begitu masuk ke basement, dku langsung lenyap di antara rak, tenggelam dalam sekian ribu judul buku, mabuk oleh imajinasi yang bercampur fakta yang berterbangan keluar dari buku-buku yang berjajar, bertumpuk, berdesakkan dan bahkan berserak dimanapun mata memandang. Entah kenapa aku selalu merindukan tempat ini. Tempat yang dulu pernah sangat memuakkan semasa menggeluti skripsi atau tugas-tugas kuliah.

Halaman depan sudah bukan hamparan rumput luas lagi, halaman depan sudah berubah menjadi gedung baru. Kulangkahkan kaki dengan ringan ke lorong-lorongnya, berharap mencium kembali nafas yang dulu pernah kuhembuskan; berharap menangkap kembali bayang-bayang tingkah polahku, kamu, kita; berharap disapa oleh jejak langkah, tawa canda dan airmata itu. Tapi tidak, tidak ada apapun. Tidak satu senyum, tidak satu sapaan, tidak satu katapun. Jendela-jendela itu, tidak satu diantara seribu yang mengijinkanku menengok ke dalam lewat celahnya. Pilar-pilar yang menyangga bangunan itu, yang dulu juga tempatku, kamu, kita bersandar kini berdiri dengan angkuhnya.

Rasanya sedih, sedikit demi sedikit kampus ini mulai berubah, entah bertumbuh entah apa. Aku tak mengerti, aku tidak mau mengerti. Yang kumengerti saat ini hanyalah rasa asing yang menyapa. Mungkin karena kampus ini tak lagi memanggil namaku, mungkin karena aku hanya dikenali lewat sederet angka yang bahkan bukan aku yang memilihnya. Mungkin karena aku terlalu naif menerjemahkan slogan Humanis yang tercetak dalam tiap publikasinya. Aku tidak punya kemampuan lebih untuk menjelaskan rasa kecewa ini dengan lebih baik, tapi aku tahu kalian pun merasakan hal yang sama, meski tidak serupa.

Sudahlah, rasa ini akan berlalu, seperti rasamu akan aku, seperti rasa itu...

luv,
-onk-