Thursday, February 2, 2006

freedom at last, eternal oblivion!

Dear Luv,
only one of my second thoughts.

to those who have given me free rein to ...

Satu hal yg selalu kupercayai adalah bahwa kita dilahirkan dengan pilihan dan kebebasan. "Hidup tanpa kebebasan adalah seperti tubuh tanpa jiwa" kata Gibran.

Emang sih kebebasan bukan sesuatu yang mudah, jutaan bahkan ratusan juta manusia mati karenanya. Tapi kebebasan juga bukan selamanya indah, mulus, ringan.. Terutama ketika pilihan demi pilihan menjepit, menekan dan akhirnya memaksa kita untuk kehilangan kebebasan ... dan sekali lagi kita harus memperjuangkannya kembali.

...
Sejak tadi malam Jogja hujan terus, dingin, bawaannya pengen tidur.. zzz.... wah enak kali ya klo bisa tidur seharian, enggak perlu pergi ke kantor, enggak perlu ngadep komputer seharian, enggak perlu balesin email2 dan jawab telepon dari banyak orang yg bahkan tidak kukenal yg berasal dari entah belahan dunia bagian mana... enggak perlu compile reports, dan banyak "enggak perlu" lainnya.

Percakapan dengan seorang teman (cowok) membuatku teringat akan topik kebebasan hari ini.

Hampir setahun yang lalu. Malam itu juga dingin, walaupun tidak hujan, karena bintang berkelap-kelip di atas sana . Angkringan utara stasiun Tugu rame banget, sampe-sampe kami duduk mepet tembok pager rumah orang dan berbagi tikar dengan rombongan lain. Percakapan berawal dari imajinasi kami yang terbang menembus cakrawala pengandaian.

"Berarti jadi wisuda besok April neh?" tanyaku iseng

"Iya. Udah keburu kelamaan kuliah neh, maklum angkatan tua banget"

"Trus rencanamu mo nyari kerja di kampung halaman?" tanyaku lagi. "atau mo nyoba ibukota kayak kebanyakan teman?"

"Entah, gw males kerja ma orang, dari dulu nyoba gak pernah berhasil, gak cocok mlulu, mending wiraswasta" jawabnya

Aku diam. Tapi wiraswasta kan enggak pasti, kataku dalam hati.

"Gw pengen buka usaha sendiri, bidang apa kek. Kayaknya masih ada peluang di kota gw utk wiraswasta, klo di Jogja kan udah tipis" lanjutnya. "Tp enggak mungkin kan klo gw nganggur, mo dikasih makan apa anak-istri gw kelak, walopun blom kepikiran married, gw udah harus mikir nabung dunk, udah tua gini, gila apa?!".

Aku masih diam, manggut-manggut mendengarkan impiannya (atau pilihan satu-satunya?).

Dia meneruskan bercerita tentang kemungkinan-kemungkinan merintis usaha di kampung halamannya, prospeknya, koneksinya dll. Tapi dalam hati aku cuma berpendapat: kamu kan cowok, bukannya lebih save and secure klo punya pendapatan tetap dan pekerjaan yg yaa.. "mapan" lah. Mungkin dalam beberapa hal pikiran seperti yg kumiliki tergolong normatif bahkan kolot, seharusnya dengan pendidikanku sekarang dku udah punya pikiran "lebih" dari itu, I'd rather in secure position though. Am blameless for conservative raising :)

...
Saat ini, hampir satu tahun kemudian, si teman cowok tadi telah berada di kota kelahirannya dan nampaknya betul-betul membuka sebuah usaha wiraswasta. Tapi dalam pikiranku [yg masih terpengaruh oleh conservative raising] masih wondering, ya klo sukses, klo enggak?!

Tadi pagi ketika dku dengan sangat malas berangkat ke kantor, berpikir tentang suatu saat jika memungkinkan akan berhenti kerja saja dan mencari kerjaan part time atau sebangsanya. Lalu tiba-tiba teringat akan percakapan di atas.

Ternyata kalau dihubungkan dengan percakapan di atas, dku sebagai perempuan lebih punya kebebasan dan lebih bisa memilih daripada laki-laki. Dku tdk akan dicap aneh oleh sekitar [lagi-lagi pola pikir normatif] sebagai pengangguran --walopun jelas-jelas aku menganggur, misalnya.

Kebebasan utk memilih menjadi mapan atau tidak mapan, kebebasan utk memilih pekerjaan yg kita sukai, bahkan utk tidak bekerja, kebebasan utk menjadi diri sendiri. [Dku enggak bicara soal keterbatasan akses bagi mayoritas perempuan di negara ini bahkan di dunia, sekali ini menutup mata dulu he...]

Siang ini, sepulang nengok seorang teman yang habis melahirkan kami rame-rame makan ikan bakar di Seturan [hmm... yummy!].

Entah berawal darimana, seorang teman (cowok) berkata, "wah aku blom tanda tangan perpanjangan kontrak nih"

"Iya, tanda tangan gih, masih ragu-ragu?" tanya seorang teman (cewek)

"Ya enggak sih, cuma kalau aku kan udah umur segini (31, red) udah saatnya mikir pekerjaan yg settle, kan usia enggak mungkin lompat sana-sini nyari kerjaan kan " jawab si teman cowok tadi. "Jadi pertimbanganku cuma apakah lembaga bisa menjawab kebutuhanku tadi" lanjutnya.

Dku cuma mendengarkan "rembug tuwa" tadi sembari berpikir, oh iya, emang sih beberapa lowongan pekerjaan mencantumkan syarat minimal usia. Hmm... begitu rupanya "wacana" kehidupan yg dihadapi para pria di dunia kerja dan per-keluargaan.

Sekarang, dengan kondisi pekerjaanku yg kayak gini, kayaknya dku juga enggak bebas dan kebebasan terasa semakin jauh dan jauh dan jaaauuuuhh...!

Ketika dua hari lalu handphone-ku ngadat dan ngambek minta istirahat dku masih bisa tersenyum dan bilang: dku masih bisa kok hidup tanpa HP [walopun ketika kemarin beliau mulai menyala lagi dengan normal aku sangat bersyukur. inget, jauhkan HP dari air sodara-sodara!]. Atau ketika motorku juga terbatuk-batuk lalu minta macet, dku juga masih bisa senyum. Ketika yang tercinta pergi dan aku menghabiskan sekian lamanya berduka, akhirnya aku pun bisa tersenyum dan bisa membuktikan kalau dia tidak menjadi candu utkku. Tapi ketika kebebasanku terasa semakin jauh, bernapas rasanya sesak dan pengen lari dan lari dan lari... entah kemana. Maka kalau dku sedemikian ngotot mengejar kebebasan dan meninggalkan hal lain, pekerjaan misalnya, bukankah kebebasan menjadi candu dan aku tidak lagi bebas?

"Every form of addiction is bad, no matter whether the narcotic be alcohol, morphine or idealism" Jung (1875-1961) berkata.

Dan aku tertegun, melihat seorang ibu penjual camcao/cincau di Pasar Beringharjo hari Minggu kemaren. Dengan segala kesederhanaanya, dia bebas, lebih bebas dari diriku, dari kita. Sementara aku berkutat dengan banyak mimpiku, keinginanku, target, bahkan idealisme-ku yang kadang semu dan absurd, dia bebas dari segala kemewahan, dari keinginan, dari imajinasi yang "enggak perlu", dari idealisme, dari pilihan-pilihan (yang di satu sisi membebaskan dan di sisi lain mengharuskan kita memilih, kalaupun kita memutuskan utk tidak memilih, kita telah memilih) dan dari segala candu... [mungkin demikian], dan aku iri padanya.

Thanks to those who free me from my mind, my feeling, my imagination... freedom at last, eternal oblivion!

luv,

-onk-