Bak Air Tadah Hujan -- 28 September 2007
Dear Luv,
Apa kabar kalian?
Seminggu sudah aku di pulau ini. Seminggu sudah mandi air tadah hujan dan digigit agas.
Onolimbu Lahomi, sebuah desa di ujung legenda, tempat para tua membuat patung dari batu dan anak-anak menari di bawah bulan purnama. Sungguh mengasyikkan, menyusur setapaknya sambil mengikis harapan akan kamu. Waktu akan menelan impian ini mentah-mentah, jarak akan menyeret keberadaanku semakin jauh dari kamu. Oleh karena itu, biarlah seberkas cahaya mentari yang terbit setiap paginya menyapaku menjadi representasimu.
Nias, aku menyanjung keindahannya. Tapi aku mengutuk keras hati penghuninya. Entah kenapa semua penghuni pulau ini setelannya kenceng semua. Bahkan kami yang baru datang pun ikut-ikutan bernada tinggi, meski hanya untuk percakapan sederhana. Pertengkaran yang tidak perlu muncul sebagai akibat kekecewaan yang tidak tersampaikan. Entah siapa yang benar dan siapa yang salah, semua merasa berhak berteriak dan membentak. Beban tidak terlontar tapi hanya terlempar sesaat untuk jatuh kembali dengan lebih keras. Aku tidak mengerti. Semoga aku tidak terlambat untuk mengerti, sebelum aku ikut menjadi semakin keras.
Teman-teman baru, ada yang menyenangkan ada yang menyebalkan. Semua berada di bawah satu atap. Kami berproses dan bertumbuh, katamu.
Matahari-ku,
bersinarlah dari tempatmu, meski jauh kuraih.
Hanya sebisik kata yang ingin kudengar, masih bolehkah?
Dan akan kusimpan sampai tiga purnama lagi,
ketika tiba saatnya kukembalikan.
merindukanmu setiap kali kulihat Sang Hyang Re terbit setiap paginya.
luv,
-onk-