Dear Luv,
It’s been a while, I know. Does life treat you good? I
hope so.
Sebuah percakapan dengan seorang teman baik beberapa
hari yang lalu telah mengingatkanku padamu. Seakan mendengar denting lonceng
gereja tua dari kejauhan. Seperti memanggil, seperti meminta, seperti menegur.
Tapi sebelum aku sempat menoleh, denting itu pelahan menghilang, tertelan deru
angin, terhantam debur ombak di kejauhan, terkikis bara mentari.
Faded and then gone. Kemudian aku harus bertanya, apakah itu nyata atau hanya imajinasiku belaka?
Faded and then gone. Kemudian aku harus bertanya, apakah itu nyata atau hanya imajinasiku belaka?
Kemudian yang tersisa adalah kerinduan. Apakah aku
masih merindukanmu? Apakah aku masih mencintaimu?
Cinta adalah sesuatu yang selalu punya cara untuk
mengusik ketenangan dari keheningan jiwa. Apa yang cinta inginkan, seringkali
kita tidak pernah tahu? Apakah suatu saat kita akan tahu? Kebanyakan orang
tidak ingin tahu.
Love is pain. I knew that much. Tapi kenapa selalu ada
jiwa yang terjebak dalam ilusi cinta? Apakah mereka bisa keluar? Apakah mereka
ingin keluar? Entahlah. Mungkin seperti berada di dalam labirin, berputar-putar
dan akhirnya tersesat. Tapi setelah mereka berhasil keluar, they will enter it
again in a blink of an eye. Maybe, because being alone is hurt even more.
But who am I to judge, or even to complain? What do I
know about love? All I know is to love you. No regret, no hope, no pain.
“If happy ever after did exist, I would still be
holding you like this. All those fairytales are full of shit. One more stupid
love song I’ll be sick”
-- Payphone by Maroon 5 --
... and let our minds open, evolve and produce.
Luv,
-onk-
Luv,